Setiap orang yang akan
menetapkan target diri pribadi harus melepaskan diri dari pikiran-pikiran
negatif. Dan bahkan harus menghindar dari pemaksaan pikiran gajah yang sengaja
dibuat orang lain, entah teman, lawan, kerabat, keluarga dan siapapun yang
berusaha ke arah itu.
Semua orang pasti tahu bahwa
pada hakekatnya gajah adalah binatang liar di hutan yang tidak mau tunduk ketika
berhadapan dengan manusia. Namun sekarang banyak gajah yang dapat dimanfaatkan
manusia untuk bekerja dan menguntungkan manusia. Tentu saja setelah gajah
tersebut dijinakkan terlebih dahulu. Kemampuan menjinakkan gajah tentu tak
terlepas dari kemampuan manusia mengetahui cara berpikir gajah liar. Gajah liar
terutama yang muda yang berhasil ditangkap akan diikat kedua kakinya dengan
rantai besi yang besar sehingga tidak dapat bergerak dengan leluasa, apalagi mau
melepaskan diri. Hal itu dibiarkan terjadi hingga berbulan-bulan lamanya dan
setiap kali berontak untuk melepaskan diri selalu gagal karena ada pengikat di
kakinya. Karena setiap usahanya untuk bebas selalu kandas dan itu terjadi terus
menerus sepanjang waktu dalam kekangan manusia, sehingga tertanam di pikirannya
bahwa dia tidak dapat melepaskan diri lagi. Pelatih gajah yang melihat bahwa
usaha gajah membebaskan diri sudah tiada lagi maka akan mengganti rantai besar
tadi dengan rantai yang lebih kecil. Ternyata dengan rantai yang lebih kecil ini
gajah sudah tidak mau lagi berontak untuk melepaskan diri, seolah seperti
menyadari jika usahanya akan percuma saja. Maka pawangpun diijinkan mengganti
rantai kedua dengan rantai yang kecil. Meskipun rantai yang mengikat kaki gajah
bukan lagi rantai besar yang tak mungkin gajah dapat memutuskannya, pikiran
gajah selalu mengatakan kalau tak mungkin rantai ini dapat diputuskannya. Maka
ia menjadi tenang dan tak mau lagi berontak. Hingga setelah dewasapun tetap
terpateri pikiran tersebut, tak mungkin memutuskan rantai kecil yang mengikat
kakinya.
Pikiran gajah ini
menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa sesuatu yang kadang sudah ditanamkan
kepada diri kita oleh orang lain – atasan, kolega, orang tua, suami / isteri,
guru, tetangga – menjadi belenggu selamanya.
Contoh pertama: karena
pernah mengalami 3 kali kegagalan dalam menjalankan usaha dagangnya yang
masing-masing berumur 2 – 3 bulan maka orang tua, isteri, mertua bahkan
tetangganya menyebut Fulan tak mungkin dapat berdagang karena tak punya bakat
berdagang. Dan setiap kali mau mencoba berdagang lagi selalu dihalangi isteri,
orang tua dan mertuanya. Mereka sama sekali tidak mendukung apalagi membantu
dalam permodalan, namun justru melecehkannya dengan menyebut berulang-ulang
bukti kegagalan yang lampau. Kalau Fulan menerima keadaan ini dan percaya kalau
dirinya tak memiliki bakat berdagang maka ia masuk ke dalam perangkap pikiran
gajah.
Contoh kedua: Petinju
legendaris dari Amerika Serikat yang berkulit hitam dan pandai berpromosi,
Muhammad Ali, selalu membuatkan perangkap pikiran gajah untuk lawan-lawan
tinjunya jauh hari sebelum naik ke atas ring. Dengan mengatakan akan
mengkanvaskan lawan di ronde ketiga atau akan memukul K.O. hanya dalam 3 ronde
saja. Dan itu ia gembar-gemborkan terus di hadapan wartawan sehingga selalu
menjadi berita yang merongrong mental lawan calon lawan tinjunya. Dengan harapan
lawan akan selalu berpikir sebelum hingga saat bertanding di atas ring sekalipun
bahwa ia akan dijatuhkan Muhammad Ali di ronde ke 3. Dan ini akan membuat sang
lawan kurang konsentrasi yang seolah membelenggu dan mengurangi kepandaian
bertinjunya.
Kita semua tentu menyadari
kemampuan kita sendiri dan dapat berintrospeksi secara obyektif, kekurangan
maupun kelebihan kita. Dengan demikian seharusnya waspada jika ada yang mau
menanamkan pikiran gajah kepada kita. Karena kita bukan gajah! Sebagai manusia
sudah selayaknya untuk selalu berusaha lebih baik dari waktu sebelumnya.
Sehingga tidak ada kata-kata orang lain yang menjadi perangkap pikiran gajah
bagi kita. Caranya, jangan pernah lagi mengingat-ingat ucapan negatif orang lain
terhadap diri kita (yang menjurus ke pikiran gajah), karena kita bisa bangkit
dari keterpurukan di masa lalu maupun kekeliruan yang pernah kita lakukan. Dan
berusahalah selalu mengisi pikiran kita seperti yang diajarkan Earl
Nightingale: Kita akan menjadi seperti apa yang kita
pikirkan.
Persembahan
Fikri C.
Wardana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar